Minggu, 16 November 2014

Seorang Lelaki Berbadan Jangkung

seorang lelaki berbadan jangkung,
menyelipkan senyum pada langkahnya yang santai.
tidak pada semua orang lakilaki ini dapat tersenyum. entah bagaimana dia memilih orang untuk mendapatkan senyumnya. hanya saja yang masih ku ingat, senyumnya sangat menawan...

seorang lelaki berbadan jangkung,
seorang lelaki yang juga pemilik mata yang sayu itu. tidak tahu mengapa matamu yang sayu itu dapat mengiris mata lain yang berusaha menerobos pandangan matamu. entah bagaimana bisa matamu yang sayu itu menggambarkan sosokmu yang bertanggaungg jawab

seorang lelaki berbadan jangkung,
hei pemilik langkah kaki yang lebar-lebar! langkahmu yang lebar-lebar itu, pernahkah kau merasa ada seseorang yang sanagt susah payah mengejarmu karena begitu lebarnya langkah yang kau ambil? pernahkah kau merasa karena langkahmu yang lebar itu, seseorang pernah jatuh-bangun hanya untuk berusaha mengikuti langkahmu?

seseorang berbadan jangkung,
bersuara merdu salah satu cirimu. bukan karena kau pandai menyanyikan atau membawakan nada-nada lagu yang sedang dinyanyikan oleh lelaki seumuranmu. suara merdumu itu keluar saat kau melantunkan ayat suci Tuhan-Mu. suaramu mungkin tak lantang, tapi suaramu menyejukkan. entah hanya aku saja yang merasakan kesejukan suaramu itu atau ada yang lain...

ya, sepertinya bukan aku saja yg bisa mendengar suara merdumu yang menyejukkan itu.
langkahmu yang lebar-lebar itu, memberiku jawaban dari pertanyaanku.
ternyata ada hati lain yang berada didepan sana, membawa buah hati, yang selalu menunggumu pulang. pulang dari segala aktivitas, pulang dari segala keramaian dan kericuhan.

ah, sepertinya aku menjatuhkan pada hati yang salah :'))

Senin, 29 September 2014

Tentang Sebuah pilihan

“Aku nyalain rokok, ya?” katanya sambil menatapku.
Matanya yang sayu –entah disayu-sayukan untuk memohon, atau memang bentuk matanya yang sayu- seolah merajuk padaku agar aku mengatakan ‘iya’
Aku mengangguk dan tersenyum. Kemudian menyesap kembali es tehku yang dingin
“Emang kenapa sih kamu gag suka sama orang yang merokok?” tanyanya sambil meniupkan asap pertama setelah berhasil menyalakan rokoknya.
Aku hanya tersenyum.
Dia mengangguk. Aku yakin dengan pasti, dia tau alasanaku.
“Kalo nikah nanti dan aku masih belum berhenti merokok? Gimana?” tanyanya lagi
“Kalo nanti ada laki-laki lain yang semua halnya sama denganku, tapi dia tidak merokok, kamu pilih dia atau aku?” tanyanya lagi. Entah pada tiupan asap rokok yang keberapa.
Aku hanya tersenyum. Selalu hanya tersenyum setiap aku menjawab pertanyaannya. Karena aku yakin, dia tau dengan pasti jawaban dari pertanyaanku. Aku tidak mau menjawab untuk yang kesekian kalinya. Hanya saja, aku menghindari perdebatan kusir yang malah nantinya akan merusak makan malam kami.

Aku tau, lelakiku yang satu ini memang suka merokok. Mungkin sudah pada tingkat addict. Awalnya dia memang bukan lelaki yang merokok dengan ‘manner’. Tapi aku mulai menyadarkannya. Karena merokok, selain merusak diri, juga bisa merusak orang di sekitarnya. Memang kamu mau merusak kesehatanku juga? Begitu tanyaku padanya. Dan dia mulai mendengarkanku untuk ‘manner’ merokok #ciyeeegitu :’)

Dulu, dulu sekali. Aku membenci orang yang merokok. Selain karena baunya yang kurang bersahabat, juga sudah banyak sekali penelitian yang menyatakan merokok itu buruk bagi siapapun. Baik perokok aktif maupun pasif. Malah lebih parah pada perokok yang pasif. Selain itu, aku juga memiliki seorang paman ‘om’ yang memiliki kelainan jantung, ditambah beliau dulu juga merokok. Kemudian ayahku dan seluruh paman dari garis ayah, mereka perokok berat. Entah berapa batang yang akan dihabiskan dalam sehari. Hingga ayahku mengidap penyakit paru-paru, aku tidak begitu paham dengan nama medisnya, yang membuatnya sulit bernafas karena banyaknya flak yang hinggap di paruparu ayah. Aku kerap memarahi mereka. Jangan merokok! Merokok itu nggak sehat! Merokok itu bla..bla..blaaa dan bla.

Dan lagi, merokok dijadikan indikator penilaian sikap pada setiap individu. Entah siapa yang memulai membuat penilaian tersebut.
“Orang yang ngerokok itu cowok yang gag baik. Karena dia nggak sopan”.
Begitulah berita yang beredar di masyarakat. Dan naasnya, kebanyakan dari kita mempercayai itu. Bahkan mungkin sangat meyakini itu. Termasuk aku salah satunya.

Semakin kesini, aku semakin mengubah cara pandangku terhadap merokok. Eh, maksudku perokok. Aku mulai merubah pandanganku terhadap sikap orang yang merokok saat aku bertemu dengan teman MI (SD Islam) dulu. Sebut saja dia Hari.
Hari adalah teman kecilku saat di bangku MI. Dia adalah siswa yang sangat berbakat, tidak diragukan lagi nilai akademiknya. Dibidang apapun sepertinya dia selalu mengerjakan apa saja dengan baik. Sampai pada jenjang SMP dan SMA, prestasi akademiknya yang cemerlang, diperindah lagi dengan prestasi non akademik dan sikapnya yang sangat senang berorganisasi. Hingga dia memasuki salah satu sekolah teknik negeri di Bandung. Saat kami bertemu unrtuk pertama kalinya, dia bertanya kepadaku, “Kamu biasa dengan orang yang merokok nggak?” aku menjawab dengan tegas. TIDAK dan dengan disertai alasan-alasan mengapa aku tidak terbiasa dengan rokok. Kemudian dia izin sebentar keluar dan ternyata dia merokok di halaman parkir. Kemudian kembali duduk denganku dan berbicara seperti biasa. Awalnya aku menganggap kebiasaan dia aneh, hingga suatu hari dia rela meatikan rokoknya karena sedang dduk di salah satu taman Hiburan di Jakarta, karena ada ibu hamil dan seorang anak kecil yang tiba-tiba mengambil duduk di sebelahnya. Aku terkaget melihatnya seperti itu. Baru kali itu aku melihat seseorang yang rela mematikan rokoknya bukan karena dirinya, tapi peduli terhadap kondisi orang disekitarnya.

Setelah itu, aku mulai bertanya kepadanya tentang kebiasaan merokoknya itu. Ternyata dia merokok karena kebiasaan untuk menemaninya begadang malam mengerjakan tugas Kuliah yang terkadang memang tidak manusiawi. Dia merokok agar dia bisa kuat menahan kantuk. Terkadang, saat uang yang dibutuhkan untuk makan belum datang, dia merokok untuk sekedar menghilangkan rasa laparnya. Dan dia sangat tau, resiko seorang yang perokok akan berhadapan dengan masalah kesehatan, juga berhadapan dengan masalah pandangan orang terhadapnya. Lalu kemudian dia tau bagaimana cara merokok agar tidak mengganggu orang disekitarnya

Ya, merokok adalah pilihan. Tidak semua orang setuju dengan pilihan yang kita buat. Tidak semua orang akan setuju dengan apa yang kita lakukan. Konsekuensi yang akan kita hadapi dan resiko yang harus kita terima itulah yang akan menjadi musuh utama saat kita akan mengambil suatu pilihan. Benar saja. Karena tidak semua orang suka dengan asap rokok.  Tapi itu tergantung bagaimana kita memiliki tata-krama saat merokok. Tata krama ada bukan untuk mengekang kita, tetapi untuk menghargai kebebasan orang lain. Untuk belajar lebih peduli terhadap orang lain.

Seperti lelakiku ini, saat dia bertanya kenapa aku tidak suka dengan orang yang merokok? Aku menjawabnya secara medis. Bukan secara pandangan orang tentang merokok. Karena pandangan orang pada seoarang perokok yang sedang beredar saat ini hanyalah pandangan yang subjektif. Tidak didasarkan pada fakta dan data. Dan saat aku sudah menjelaskan kejelekan rokok secara medis, tetapi dia masih memilih untuk merokok (ya, bilangnya sih akan mengurangi, tapi entah dari berapa batang rokok ke berapa batang rokok dalam sehari), Lalu saat dia bertanya akankah aku berpaling darinya jika aku menemukan seorang yang mirip dengannya namun bedanya hanya dia tidak merokok. Aku hanya tersenyum. Bukan karena aku tahu, dia tau maksudku, tapi karena aku tidak tahu akan menjawab apa. Jujur, aku lebih nyaman dengan mereka yang tidak merokok. Aku juga bisa lebih menjamin kesehatan hidupnya (dalam hal ini kesehatan hanya karena dia tidak merokok). Tapi entahlah. Entah aku yang nanti akhirnya akan toleransi terhadap asap rokok yang dia hembuskan atau dia yang akan rela berhenti merokok (dengan tahap) karena dia menyayangkan kesehatanku yang mungkin akan terganggu.

Tetapi tetap, setiap pilihan selalu memiliki konsekuensi dan resiko. Bukan tentang pilihan apa yang akan kita buat. Tetapi tentang bagaimana sikap kita terhadap konsekuensi dan resiko yang kita ambil :’))

Salam,
Putri Ilmi yang belajar

Belajar untuk mencintai lelakinya :’D

Sabtu, 19 Juli 2014

Kamu yang Menawarkan Payung di Musim Kemarau

hai kamu!
iya kamu
yang tiba-tiba datang padaku, tersenyum dan menawarkan payung
di tengah teriknya Matahari di musim kemarau

hai kamu!
iya kamu
yang tiba-tiba dengan tulus menawarkan es teh manis
di tengah keringnya tenggorokan di musim kemarau

hai kamu!
iya kamu
yang kuku-kuku jemarimu mulai menguning
karena terlalu sering menyelipkan rokok di antara jari telunjuk dan jari tengah

dan, hai kamu!
yang suka diam-diam melihat mataku
yang tiba-tiba mengatakan mataku indah
yang tiba-tiba menggenggam tanganku

apakah kamu yakin menawarkan payungmu itu padaku?
bukan pada orang lain, yang mungkin bisa tersenyum sepanjang jalan saat berbincang denganmu?

apakah kamu yakin menawarkan es teh manis itu padaku?
bukan pada dia yang mungkin akan membalasmu dengan membuatkanmu sepotong kue bolu cokelat kesukaanmu?

apakah kamu yakin akan menggenggam tanganku dengan jemarimu yang memiliki kuku yang hampir menguning itu?
tidakkah kamu ingin menggenggam tangan seseorang yang mungkin bisa membuatmu berhenti merokok?

dan, apakah kamu yakin akan selalu menatap mataku seperti itu?
yang mungkin aku tidak akan membalas tatapanmu itu? bahkan mungkin aku akan memberikan tatapan mataku pada orang lain?

hei kamu
mungkin aku belum bisa menggenggam tanganmu, menatap matamu, menawarkan hatiku seperti kau yang menawarkan hatimu
tapi mungkin, aku akan mencoba menerima tawaran payungmu. menjadikan musim kemarau sesejuk musim penghujan :))

aku, yang masih mencoba untuk mencintaimu.

Minggu, 25 Mei 2014

Tuhan nggak pernah bosan :')



“Coffee Latte sama cheese quiche-nya satu ya, Mas” pesanku pada mas-mas yang berdiri dibelakang kasir dengan baju seragam Starbucks-nya.
“Semuanya 60.000, Mbak. Ada lagi yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan ramah.
“Nggak, Mas makasih” jawabku sambil mengambil kembalian dan menerima pesananku dan membawanya ke tempat duduk favoritku. Kebetulan siang itu sedang kosong. Aku tidak sedang dalam mood terbaikku untuk makan-makanan berat siang ini. Setelah meeting dengan beberapa rekan kerjaku, aku memutuskan untuk ngopi saja siang ini sambil mencari inspirasi untuk menulis novel ketigaku.
“Putri, ya?” sapa seseorang dari sebelahku.
Aku memandangnya. Menyipitkan mataku untuk lebih mempertajam pandanganku. Cahaya lampu mall yang berada tepat di belakang –sepertinya- lelaki ini membuat wajahnya terlihat sedikit gelap. Sulit bagiku untuk mengenali orang ini
“Eh, kamu!” sapaku balik. Haha. Ya, aku masih belum mengenali siapa lelaki yang berdiri disampingku ini
“Sendirian aja?” tanyanya
“Yap” jawabku singkat sambil tersenyum dan masih berfikir siapa lelaki didepanku ini
“Boleh aku duduk disini?” tanyanya sambil menunjuk ke kursi kosong didepanku
Yes, Please
“Kamu apa kabarnya?”katanya setelah duduk di depanku.
Oh, ternyata Ramli. Dia teman sejurusanku saat kami duduk di bangku kuliah di salah satu Universitas Negeri di Surabaya. Teman sejurusan namun tidak sekelas. Dan ya, kami pernah mengisi hati masing-masing. Dulu sekali. Sekitar 4-5 tahun yang lalu. Dan kemudian kami memutuskan untuk menjalani kehidupan masing-masing. “Baik dong. Kamu?” tanyaku
As you see. I’m good and very happy” katanya. Senyumnya dan tatapan matanya masih sama seperti 4 tahun yang lalu.
“Nggak nyangka sih bisa ketemu disini” kataku. “Eh, tapi iya. Kok bisa disini sih? Kamu kerja disini?”
“Iya. Aku uda sekitar 2 tahunan kok disini. Kamu? Sejak kapan di Jakarta?”
“Sama deh. Aku juga 2 tahun yang lalu. Lucu banget sih kita ini, haha” kataku sambil menertawai keadaan kami.
Ramli tersenyum sambil mengaduk Espresso-nya. Menu yang sama seperti saat aku masih berhak memesankan minuman untuknya 4 tahun yang lalu
“Emang kalo boleh tau kamu kerja apa sekarang?” tanyaku yang mulai penasaran. Baju kemeja lengan panjang berwarna putih yang setengah dari lengannya disingsingkan. Jas hitam di tangan dan celana kain berwarna hitam. Septu fantovel berwarna hitam dan tetap dengan kacamata yang semakin manis menghias wajahnya.
Me? Ya, kerja-kerja gitu deh, Put. Kebetulan Tuhan nggak sedang pelit menempatkan aku di posisi Manager di salah satu Lembaga Bimbingan Belajar di Jakarta” katanya sambil menyeruput sedikit Espresso-nya
What? Jadi dia manager? Dan aku Cuma seorang penulis novel dan jadi staff tim kreatif di salah satu perusahaan TV Swasta. Oke, aku akuin dia keren
“Hey! Kok diem? Ngelamun gitu sih jadinya? Kalo kamu? Kamu kok bisa terdampar di Jakarta gini?” tanyanya
Well, aku nggak sekeren kamu sih. Aku Cuma staff Tim kreatif di salah satu perusahaan TV Swasta” jawabku sambil melahap potongan kecil cheese quiche-ku.
“Dan penulis dari dua novel ini” katanya sambil mengeluarkan 2 buku yang ternyata itu adalah kedua novelku yang sudah terbit
Aku terbelalak. Mulutku menganga dan menatap Ramli, “Damn! Kamu beli novelku?” tanyaku heran
Ramli mengangguk. “Sejak kita menyudahi hubungan kita, aku masih jaga janji aku untuk nungguin karya-karya kamu. Setiap aku ke mall, aku sempetin buat nengok ke bagian novel-novel. Hingga suatu saat aku takjub banget saat ada yang namanya Putri Ilmi Novelis disitu. Tanpa berfikir panjang langsung aku beli dan ku baca malam harinya. And you do keep your promise” katanya sambil tersenyum dan mengubah intonasi bicaranya di akhir kalimat
Me? What?” tanyaku heran. Janji? Janji apa emangnya yang aku tepati?
Ramli membuka halaman ‘persembahan’ dari novelku dan menunjuk ke salah satu point. Aku menuliskan namanya di situ. “’Untuk sahabat-sahabatku, Ana, Dessy, Sikha, Gembul. Dora, Ninot, Mbaqani, Afif, Zein, Bagus, Bang Teguh, Rafli dan Ramli. See? Novel perdanaku jadi dan nama kalian ada disini’. This is your promise” kata Ramli membacakan point persemabhan terimakasihku
Aku tersenyum tipis. Ya, aku ingat. Aku berjani pada Ramli untuk menuliskan namanya saat novel perdanaku nanti diterbitkan
“Kamu masih sama, Put. Selalu ada yang kamu sembunyiin dari aku. Dan saat kita sudah nggak bersama lagi pun, kamu masih menyembunyikannya. Kamu masih sama”
“Tau apa kamu, Ram? Setiap orang pasti berubah, and so do I. Aku berubah.” Kataku menyeimbangi nada keseriusan Ramli
No. You are still the same. Kamu masih pesan kopi dan cheese quiche yang sama. Pergi ke kedai kopi yang sama, duduk di dekat jendela dengan menatap view keramaian, baik itu Jakarta atau Surabaya. The way you look at me? Itu juga masih sama” kata Ramli
Entah, seperti ada yang mengiris hatiku. Terasa perih. Sejak aku memutuskan hubunganku dengan Ramli, aku sama sekali belum bisa membuka hatiku untuk yang lain. Masih mengunci rapat. Bukannya karena aku tidak mau membukanya, tapi aku menunggu biar saja ada orang yang membukanya untukku.
“Aku tahu hal ini akan terjadi” katanya
“Hal apa?” tanyaku
“Pertemuan kita”
“Maksud kamu?”
“Ya, selama 4 tahun, aku tidak pernah bosan untuk berdoa. Aku tidak pernah bosan untuk memohon dan mengusik Tuhan. Agar aku bisa bertemu lagi dengamu. Apapun keadaan kita. Entah suatu saat kita bertemu saat kita berdua sudah membangun rumah tangga masing-masing. Tapi aku akan sangat bersyukur jika Tuhan mempertemukan kita saat kita berdua sedang mencari jawaban atas rahasia-rahasia Tuhan tentang jodoh. Gampangnya adalah, saat aku ingin bertemu denganmu saat kamu sedang tidak di tunggu oleh orang lain”
Aku terkejut dengan jawaban Ramli. Sangat tidak kusangka Ramli bisa berbicara seperti itu pada hari pertama kita bertemu setelah 4 tahun tidak bertemu. “Dan, bagaimana kamu bisa seyakin itu kalau kita akan bertemu lagi?”
“Karena Tuhan maha mendengar. Sekecil apapun bisikanku saat berdoa, Tuhan selalu mendengar. Tuhan maha cerdas, Tuhan meletakkanku jauh di Jakarta bukan karena iseng. Tapi Tuhan memberiku tempat yang layak di Jakarta. Dan juga, karena Tuhan tidak pernah bosan mendengar doaku dan mengabulkannya untukku. Hingga aku yakin, aku akan bertemu dengan mata yang teduh itu. Dan mata itu, milikmu, Put.”
Aku sedikit terusik dengan apa yang dikatakan Ramli. Pengkhianatan komitmen yang pernah dilakukannya, membuatku pernah sangat membencinya. Ah, emang selalu seperti itu bukan? Setelah kita benar-benar menyukainya, akan ada masa kita akan membencinya. Hingga rasa benci itu hilang tergeser oleh waktu. Hingga memori buruk yang pernah ditinggalkannya itu menguap di ganti oleh meori-memori baru dengan orang disekitarku. Tapi untuk memulai lagi dengan orang ini? Sepertinya, entahlah. Hati ini masih sedikit lumpuh untuk kembali bisa merasakan cinta. Anggap saja tatapan mata itu sebagai tatapan penyegar dan hadiah. Hadiah dari Tuhan Sang Maha tidak perna bosan :’)

Rabu, 07 Mei 2014

Online to Offline

KLUNG!
Suara yang cukup keras yang sepertinya bersumber dari tab internet mozilla-ku yang saat ini sedang membuka profil facebook-ku. Tidak ada salahnya aku mengalihkan sebentar pikiranku pada bunyi khas dari chat di sosial media itu. Siapa tau setelah aku sedikit bermain dengan sosial media dan berbincqang sebentar dengan teman yang aku kenal, aku akan mendapatkan inspirasi baru setelah berjam-jam duduk didepan layar putih dengan tulisan bertita hitam ini.
Ada getaran yang hebat saat ternyata kamu yang menyapaku. Tanda bulatan hijau di pojok kanan atas tab bar chat yang terbuka menandakan kamu sedang online. Dan foto profilmu yang terpampang jelas bersama wanitamu yang sekarang. Tenang, aku sudah biasa melihat hal itu, jangan merasa tidak enak.
Him: Busy nih ye (masih menyapaku dengan gaya yang sama)
Me: Yoi (jawabku singkat. Menutupi perasaanku yang sedang bahagia meletup-letup)
Him: Skripsimu nyampe mana, Put? (Ah shit! Kenapa harus bahas hal itu?)
Me: iya deh yang habis seminar
Him: Not that. Still remember our promising to get graduation together, don’t you?
Me: lagi nggak mood garap skripsi _sebut namanya_
Him: Why? (Sebenarnya aku meragu untuk menceritakan apa yang sebenarnya sedang menghambat pengerjaan skripsiku. Tapi, sepertinya aku merindukan nasihat dan kata-kata semangatnya yang sangat cerdas. Jika hal itu belum berubah).
Me: Well, I’m in my project now
Him: oh iya! Novel ya? Ah mana janjimu, novelis? Will you still write my name even we’re not together again?
Me: Yes, I will. Ah, why do I have so many promises to you :’))
Him: Well, it means God doesn’t let us to be disconnect
Me: hey, don’t be selfish
Him. Oke I won’t. Apa yang ganggu kamu sih sampe bikin kamu gag mood nyekripsi, then?
Me: Aku pengen keluar dari jalanku. Basic ku pendidikan biologi, tapi aku pengen jadi penulis, pengen bisa handal bikin kue dan punya toko kue. A full time writer and a baker, problem?
Him: nope. Menurutku sih ya, Put. Just do as you wish. Mungkin kamu bosan dengan jalanmu sekarang. Okelah, sesekali kamu boleh berbelok dan melihat-lihat hal sekitar, mencoba hal baru. Tapi selesaikan apa yang menjadi kewajibanmu. Jangan hanya terus menuntut hakmu. Mangatlah! You seem don’t like the one that I always recognize, cheerfull girl!. Bolehlah mengeluh sesekali tapi kemudian maju lagi dengan beban yang lebih ringan. Jangan menyerah, nggak ada salahnya untuk mundur selangkah. Kita butuh itu untuk dapat lompat 5 kali lebih jauh. The journey of a thousand miles start with a single step. Universe blesses your wish, if you sure it makes you happy :’))

See? Dia selalu cerdas kan?
Aku tersenyum sambil kemudian mengatakan terimakasih atas semangat yang diberikannya. Lalu,

Offline 

Jumat, 11 April 2014

Baiklah Tuhan, Aku Kalah :')



Aku berdiri di depan ruangan berpintu cokelat tua sejak 2 jam yang lalu. Mataku tertutup rapat, tanganku tertelungkup dan kurapatkan di depan dada. Keringat dingin sebesar biji jagung menetes dari peluh, lututku bergetar lembut. Hanya dari sekilas melihat, orang akan tahu bahwa aku sedang gugup.
Di balik pintu itu, ada seorang lelaki dengan jas almamater berwarna biru tua yang membalut kemeja putih di dalamnya yang rapi dengan celana kain hitam dan kacamata berbingkai tipis yang dengan sangat baik menghias wajahnya. Seseorang yang telah mengisi hatiku selama 4 tahun yang lalu. Seseorang yang menjadi alasan untukku tersenyum setiap harinya. Tapi mungkin alasanku untuk tetap tersenyum setiap harinya sudah tidak lagi sama sejak 1 tahun yang lalu.
KREK. Pintu coklat khas pintu kampus ini terbuka perlahan. Seorang lelaki yang ditaksir berumur 50-tahunan dengan baju kotak-kotak, disusul dengan seseorang berbaju batik dan rambut yang disanggul keluar dari ruangan dingin itu
“Presentasi sidang yang bagus sekali” kata seorang wanita paruh baya, berkerudung coklat tua, dengan baju kemeja yang ditutupi oleh blazer berwarna khaki yang baru saja keluar dari ruangan dingin itu sambil tersenyum ke arahku
Aku melepaskan nafas panjang dan segera berjalan cepat ke koridor di seberang ruangan tempat aku berdiri sejak tadi yang dibatasi oleh pintu dorong. Aku melihat Rafli keluar dari ruangan dingin itu. Lelaki yang dulu pernah mengisi hatiku, sebelum aku bertemu dengan Reza, seorang suami dan ayah dari calon bayiku ini.
“Om Rafli berhasil, sayang” kataku perlahan, sambil mengelus perutku yang mulai membesar karena ada janin yang tumbuh di perutku ini.
Aku melihat Rafli yang masih di luar ruangan dengan wajah lega. Tetapi gesture tubuh ‘celingukan’ terlihat seperti sedang mencari-cari seseorang. Ingin rasanya aku kesana. Kembali menatap matanya, menjabat tangannya dan memberinya ucapan selamat. Tapi keinginanku kutahan. Setelah aku melihat seorang perempuan berkerudung merah yang menghampirinya, memeluknya erat dan mengucap selamat untuknya
Mataku panas, hatiku perih, dadaku sesak, lututku mulai lemas. Sekuat tenaga aku membendung banjir yang mulai memenuhi pelupuk mataku. Tapi kemudian aku tersenyum dan beranjak dari tempatku berdiri.
Baiklah Tuhan, aku kalah!

Rabu, 02 April 2014

Tulisan Tuhan :')



            Aku membiarkan angin lembut menyapu wajah dan membalai halus rambut yang kubiarkan tergerai. Tangan kananku sibuk mengaduk Iced Blended Coffee Latte yang sudah kupesan sejak 3 jam yang lalu. Hari itu sungguh panas. Tak heran jika Coffee Shop ini muai penuh dengan tamu-tamu yang ingin mendinginkan diri dari cuaca di luar karena tempat Coffee Shop ini yang memang nyaman dan dingin karena AC.
            Tangan kiriku masih dipegang olehnya. Seseorang yang baru saja menyatakan cintanya padaku beberapa puluh menit yang lalu. Matanya yang bulat bening itu seolah menyoroti kebenaran isi hati dan perasaanya,
            “Kamu yakin atas perasaanmu itu?” tanyaku sambil perlahan menarik tanganku. Tetapi gagal. Laki-laki itu semakin erat menggenggam tanganku.
            “Apa perlu aku membelah dada seperti yang dilakukan di iklan permen itu? Aku serius, Put” katanya. Tanganku di genggamnya semakin erat.
            “Aku Cuma penjaga kafe ini, Tra. Kamu mahasisa yag bisa kuliah dengan beasiswa, prestasimu cemerlang. Kamu masih yakin melabuhkan hatimu padaku? Di luar sana masih banyak perempuan yang jauh lebih baik dari aku yang mau ngantri buat dapetin kamu loh” jelasku. Kemudian menyesap Iced Blended Coffee Latte yang sudah tidak terlalu dingin itu.
            “Lalu? Kamu takut aku nikung?” tanya Putra. Matanya membulat lucu.
            “Bukan. Hanya saja kamu tahu lah, nggak ada ceritanya seorang mahasiswa berprestasi cemerlang pacaran sama seorang barista yang berending bahagia” kataku melemah.
            “Kalo gitu, kita yang buat ceritanya lah, Put” katanya santai. Ah dia selalu bisa membantahku
            “Aku bukan penulis. Begitupun kamu. Kamu itu hanya mahasiswa desain grafis. Bukan mahasiswa sastra” tukasku
            “Anggap saja cerita ini sudah ditulis, Put”
            “Oleh siapa?”
            “Tuhan”

[SKINCARE REVIEW] Skincare Clarice Clinic to the Rescue

Hai semuuaaaa   Assalamualaikum   Eh kebalik ya, harusnya salam dlu   Assalamualaikum   Hai semuaaaa   Gini harusnya S...