Aku
berdiri di depan ruangan berpintu cokelat tua sejak 2 jam yang lalu. Mataku
tertutup rapat, tanganku tertelungkup dan kurapatkan di depan dada. Keringat
dingin sebesar biji jagung menetes dari peluh, lututku bergetar lembut. Hanya
dari sekilas melihat, orang akan tahu bahwa aku sedang gugup.
Di
balik pintu itu, ada seorang lelaki dengan jas almamater berwarna biru tua yang
membalut kemeja putih di dalamnya yang rapi dengan celana
kain hitam dan kacamata berbingkai tipis yang dengan sangat baik menghias
wajahnya. Seseorang yang telah mengisi hatiku selama 4 tahun yang lalu.
Seseorang yang menjadi alasan untukku tersenyum setiap harinya. Tapi mungkin
alasanku untuk tetap tersenyum setiap harinya sudah tidak lagi sama sejak 1
tahun yang lalu.
KREK.
Pintu coklat khas pintu kampus ini terbuka perlahan. Seorang lelaki yang
ditaksir berumur 50-tahunan dengan baju kotak-kotak, disusul dengan seseorang
berbaju batik dan rambut yang disanggul keluar dari ruangan dingin itu
“Presentasi
sidang yang bagus sekali” kata seorang wanita paruh baya, berkerudung coklat
tua, dengan baju kemeja yang ditutupi oleh blazer
berwarna khaki yang baru saja keluar dari ruangan dingin itu sambil tersenyum
ke arahku
Aku
melepaskan nafas panjang dan segera berjalan cepat ke koridor di seberang
ruangan tempat aku berdiri sejak tadi yang dibatasi oleh pintu dorong. Aku
melihat Rafli keluar dari ruangan dingin itu. Lelaki yang dulu pernah mengisi
hatiku, sebelum aku bertemu dengan Reza, seorang suami dan ayah dari calon
bayiku ini.
“Om
Rafli berhasil, sayang” kataku perlahan, sambil mengelus perutku yang mulai
membesar karena ada janin yang tumbuh di perutku ini.
Aku
melihat Rafli yang masih di luar ruangan dengan wajah
lega. Tetapi gesture tubuh ‘celingukan’ terlihat seperti sedang mencari-cari
seseorang. Ingin rasanya aku kesana. Kembali menatap matanya, menjabat
tangannya dan memberinya ucapan selamat. Tapi keinginanku kutahan. Setelah aku
melihat seorang perempuan berkerudung merah yang menghampirinya, memeluknya
erat dan mengucap selamat untuknya
Mataku
panas, hatiku perih, dadaku sesak, lututku mulai lemas. Sekuat tenaga aku
membendung banjir yang mulai memenuhi pelupuk mataku. Tapi kemudian aku
tersenyum dan beranjak dari tempatku berdiri.
Baiklah
Tuhan, aku kalah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar