Minggu, 25 Mei 2014

Tuhan nggak pernah bosan :')



“Coffee Latte sama cheese quiche-nya satu ya, Mas” pesanku pada mas-mas yang berdiri dibelakang kasir dengan baju seragam Starbucks-nya.
“Semuanya 60.000, Mbak. Ada lagi yang bisa saya bantu?” tanyanya dengan ramah.
“Nggak, Mas makasih” jawabku sambil mengambil kembalian dan menerima pesananku dan membawanya ke tempat duduk favoritku. Kebetulan siang itu sedang kosong. Aku tidak sedang dalam mood terbaikku untuk makan-makanan berat siang ini. Setelah meeting dengan beberapa rekan kerjaku, aku memutuskan untuk ngopi saja siang ini sambil mencari inspirasi untuk menulis novel ketigaku.
“Putri, ya?” sapa seseorang dari sebelahku.
Aku memandangnya. Menyipitkan mataku untuk lebih mempertajam pandanganku. Cahaya lampu mall yang berada tepat di belakang –sepertinya- lelaki ini membuat wajahnya terlihat sedikit gelap. Sulit bagiku untuk mengenali orang ini
“Eh, kamu!” sapaku balik. Haha. Ya, aku masih belum mengenali siapa lelaki yang berdiri disampingku ini
“Sendirian aja?” tanyanya
“Yap” jawabku singkat sambil tersenyum dan masih berfikir siapa lelaki didepanku ini
“Boleh aku duduk disini?” tanyanya sambil menunjuk ke kursi kosong didepanku
Yes, Please
“Kamu apa kabarnya?”katanya setelah duduk di depanku.
Oh, ternyata Ramli. Dia teman sejurusanku saat kami duduk di bangku kuliah di salah satu Universitas Negeri di Surabaya. Teman sejurusan namun tidak sekelas. Dan ya, kami pernah mengisi hati masing-masing. Dulu sekali. Sekitar 4-5 tahun yang lalu. Dan kemudian kami memutuskan untuk menjalani kehidupan masing-masing. “Baik dong. Kamu?” tanyaku
As you see. I’m good and very happy” katanya. Senyumnya dan tatapan matanya masih sama seperti 4 tahun yang lalu.
“Nggak nyangka sih bisa ketemu disini” kataku. “Eh, tapi iya. Kok bisa disini sih? Kamu kerja disini?”
“Iya. Aku uda sekitar 2 tahunan kok disini. Kamu? Sejak kapan di Jakarta?”
“Sama deh. Aku juga 2 tahun yang lalu. Lucu banget sih kita ini, haha” kataku sambil menertawai keadaan kami.
Ramli tersenyum sambil mengaduk Espresso-nya. Menu yang sama seperti saat aku masih berhak memesankan minuman untuknya 4 tahun yang lalu
“Emang kalo boleh tau kamu kerja apa sekarang?” tanyaku yang mulai penasaran. Baju kemeja lengan panjang berwarna putih yang setengah dari lengannya disingsingkan. Jas hitam di tangan dan celana kain berwarna hitam. Septu fantovel berwarna hitam dan tetap dengan kacamata yang semakin manis menghias wajahnya.
Me? Ya, kerja-kerja gitu deh, Put. Kebetulan Tuhan nggak sedang pelit menempatkan aku di posisi Manager di salah satu Lembaga Bimbingan Belajar di Jakarta” katanya sambil menyeruput sedikit Espresso-nya
What? Jadi dia manager? Dan aku Cuma seorang penulis novel dan jadi staff tim kreatif di salah satu perusahaan TV Swasta. Oke, aku akuin dia keren
“Hey! Kok diem? Ngelamun gitu sih jadinya? Kalo kamu? Kamu kok bisa terdampar di Jakarta gini?” tanyanya
Well, aku nggak sekeren kamu sih. Aku Cuma staff Tim kreatif di salah satu perusahaan TV Swasta” jawabku sambil melahap potongan kecil cheese quiche-ku.
“Dan penulis dari dua novel ini” katanya sambil mengeluarkan 2 buku yang ternyata itu adalah kedua novelku yang sudah terbit
Aku terbelalak. Mulutku menganga dan menatap Ramli, “Damn! Kamu beli novelku?” tanyaku heran
Ramli mengangguk. “Sejak kita menyudahi hubungan kita, aku masih jaga janji aku untuk nungguin karya-karya kamu. Setiap aku ke mall, aku sempetin buat nengok ke bagian novel-novel. Hingga suatu saat aku takjub banget saat ada yang namanya Putri Ilmi Novelis disitu. Tanpa berfikir panjang langsung aku beli dan ku baca malam harinya. And you do keep your promise” katanya sambil tersenyum dan mengubah intonasi bicaranya di akhir kalimat
Me? What?” tanyaku heran. Janji? Janji apa emangnya yang aku tepati?
Ramli membuka halaman ‘persembahan’ dari novelku dan menunjuk ke salah satu point. Aku menuliskan namanya di situ. “’Untuk sahabat-sahabatku, Ana, Dessy, Sikha, Gembul. Dora, Ninot, Mbaqani, Afif, Zein, Bagus, Bang Teguh, Rafli dan Ramli. See? Novel perdanaku jadi dan nama kalian ada disini’. This is your promise” kata Ramli membacakan point persemabhan terimakasihku
Aku tersenyum tipis. Ya, aku ingat. Aku berjani pada Ramli untuk menuliskan namanya saat novel perdanaku nanti diterbitkan
“Kamu masih sama, Put. Selalu ada yang kamu sembunyiin dari aku. Dan saat kita sudah nggak bersama lagi pun, kamu masih menyembunyikannya. Kamu masih sama”
“Tau apa kamu, Ram? Setiap orang pasti berubah, and so do I. Aku berubah.” Kataku menyeimbangi nada keseriusan Ramli
No. You are still the same. Kamu masih pesan kopi dan cheese quiche yang sama. Pergi ke kedai kopi yang sama, duduk di dekat jendela dengan menatap view keramaian, baik itu Jakarta atau Surabaya. The way you look at me? Itu juga masih sama” kata Ramli
Entah, seperti ada yang mengiris hatiku. Terasa perih. Sejak aku memutuskan hubunganku dengan Ramli, aku sama sekali belum bisa membuka hatiku untuk yang lain. Masih mengunci rapat. Bukannya karena aku tidak mau membukanya, tapi aku menunggu biar saja ada orang yang membukanya untukku.
“Aku tahu hal ini akan terjadi” katanya
“Hal apa?” tanyaku
“Pertemuan kita”
“Maksud kamu?”
“Ya, selama 4 tahun, aku tidak pernah bosan untuk berdoa. Aku tidak pernah bosan untuk memohon dan mengusik Tuhan. Agar aku bisa bertemu lagi dengamu. Apapun keadaan kita. Entah suatu saat kita bertemu saat kita berdua sudah membangun rumah tangga masing-masing. Tapi aku akan sangat bersyukur jika Tuhan mempertemukan kita saat kita berdua sedang mencari jawaban atas rahasia-rahasia Tuhan tentang jodoh. Gampangnya adalah, saat aku ingin bertemu denganmu saat kamu sedang tidak di tunggu oleh orang lain”
Aku terkejut dengan jawaban Ramli. Sangat tidak kusangka Ramli bisa berbicara seperti itu pada hari pertama kita bertemu setelah 4 tahun tidak bertemu. “Dan, bagaimana kamu bisa seyakin itu kalau kita akan bertemu lagi?”
“Karena Tuhan maha mendengar. Sekecil apapun bisikanku saat berdoa, Tuhan selalu mendengar. Tuhan maha cerdas, Tuhan meletakkanku jauh di Jakarta bukan karena iseng. Tapi Tuhan memberiku tempat yang layak di Jakarta. Dan juga, karena Tuhan tidak pernah bosan mendengar doaku dan mengabulkannya untukku. Hingga aku yakin, aku akan bertemu dengan mata yang teduh itu. Dan mata itu, milikmu, Put.”
Aku sedikit terusik dengan apa yang dikatakan Ramli. Pengkhianatan komitmen yang pernah dilakukannya, membuatku pernah sangat membencinya. Ah, emang selalu seperti itu bukan? Setelah kita benar-benar menyukainya, akan ada masa kita akan membencinya. Hingga rasa benci itu hilang tergeser oleh waktu. Hingga memori buruk yang pernah ditinggalkannya itu menguap di ganti oleh meori-memori baru dengan orang disekitarku. Tapi untuk memulai lagi dengan orang ini? Sepertinya, entahlah. Hati ini masih sedikit lumpuh untuk kembali bisa merasakan cinta. Anggap saja tatapan mata itu sebagai tatapan penyegar dan hadiah. Hadiah dari Tuhan Sang Maha tidak perna bosan :’)

Rabu, 07 Mei 2014

Online to Offline

KLUNG!
Suara yang cukup keras yang sepertinya bersumber dari tab internet mozilla-ku yang saat ini sedang membuka profil facebook-ku. Tidak ada salahnya aku mengalihkan sebentar pikiranku pada bunyi khas dari chat di sosial media itu. Siapa tau setelah aku sedikit bermain dengan sosial media dan berbincqang sebentar dengan teman yang aku kenal, aku akan mendapatkan inspirasi baru setelah berjam-jam duduk didepan layar putih dengan tulisan bertita hitam ini.
Ada getaran yang hebat saat ternyata kamu yang menyapaku. Tanda bulatan hijau di pojok kanan atas tab bar chat yang terbuka menandakan kamu sedang online. Dan foto profilmu yang terpampang jelas bersama wanitamu yang sekarang. Tenang, aku sudah biasa melihat hal itu, jangan merasa tidak enak.
Him: Busy nih ye (masih menyapaku dengan gaya yang sama)
Me: Yoi (jawabku singkat. Menutupi perasaanku yang sedang bahagia meletup-letup)
Him: Skripsimu nyampe mana, Put? (Ah shit! Kenapa harus bahas hal itu?)
Me: iya deh yang habis seminar
Him: Not that. Still remember our promising to get graduation together, don’t you?
Me: lagi nggak mood garap skripsi _sebut namanya_
Him: Why? (Sebenarnya aku meragu untuk menceritakan apa yang sebenarnya sedang menghambat pengerjaan skripsiku. Tapi, sepertinya aku merindukan nasihat dan kata-kata semangatnya yang sangat cerdas. Jika hal itu belum berubah).
Me: Well, I’m in my project now
Him: oh iya! Novel ya? Ah mana janjimu, novelis? Will you still write my name even we’re not together again?
Me: Yes, I will. Ah, why do I have so many promises to you :’))
Him: Well, it means God doesn’t let us to be disconnect
Me: hey, don’t be selfish
Him. Oke I won’t. Apa yang ganggu kamu sih sampe bikin kamu gag mood nyekripsi, then?
Me: Aku pengen keluar dari jalanku. Basic ku pendidikan biologi, tapi aku pengen jadi penulis, pengen bisa handal bikin kue dan punya toko kue. A full time writer and a baker, problem?
Him: nope. Menurutku sih ya, Put. Just do as you wish. Mungkin kamu bosan dengan jalanmu sekarang. Okelah, sesekali kamu boleh berbelok dan melihat-lihat hal sekitar, mencoba hal baru. Tapi selesaikan apa yang menjadi kewajibanmu. Jangan hanya terus menuntut hakmu. Mangatlah! You seem don’t like the one that I always recognize, cheerfull girl!. Bolehlah mengeluh sesekali tapi kemudian maju lagi dengan beban yang lebih ringan. Jangan menyerah, nggak ada salahnya untuk mundur selangkah. Kita butuh itu untuk dapat lompat 5 kali lebih jauh. The journey of a thousand miles start with a single step. Universe blesses your wish, if you sure it makes you happy :’))

See? Dia selalu cerdas kan?
Aku tersenyum sambil kemudian mengatakan terimakasih atas semangat yang diberikannya. Lalu,

Offline 

[SKINCARE REVIEW] Skincare Clarice Clinic to the Rescue

Hai semuuaaaa   Assalamualaikum   Eh kebalik ya, harusnya salam dlu   Assalamualaikum   Hai semuaaaa   Gini harusnya S...