Senin, 29 September 2014

Tentang Sebuah pilihan

“Aku nyalain rokok, ya?” katanya sambil menatapku.
Matanya yang sayu –entah disayu-sayukan untuk memohon, atau memang bentuk matanya yang sayu- seolah merajuk padaku agar aku mengatakan ‘iya’
Aku mengangguk dan tersenyum. Kemudian menyesap kembali es tehku yang dingin
“Emang kenapa sih kamu gag suka sama orang yang merokok?” tanyanya sambil meniupkan asap pertama setelah berhasil menyalakan rokoknya.
Aku hanya tersenyum.
Dia mengangguk. Aku yakin dengan pasti, dia tau alasanaku.
“Kalo nikah nanti dan aku masih belum berhenti merokok? Gimana?” tanyanya lagi
“Kalo nanti ada laki-laki lain yang semua halnya sama denganku, tapi dia tidak merokok, kamu pilih dia atau aku?” tanyanya lagi. Entah pada tiupan asap rokok yang keberapa.
Aku hanya tersenyum. Selalu hanya tersenyum setiap aku menjawab pertanyaannya. Karena aku yakin, dia tau dengan pasti jawaban dari pertanyaanku. Aku tidak mau menjawab untuk yang kesekian kalinya. Hanya saja, aku menghindari perdebatan kusir yang malah nantinya akan merusak makan malam kami.

Aku tau, lelakiku yang satu ini memang suka merokok. Mungkin sudah pada tingkat addict. Awalnya dia memang bukan lelaki yang merokok dengan ‘manner’. Tapi aku mulai menyadarkannya. Karena merokok, selain merusak diri, juga bisa merusak orang di sekitarnya. Memang kamu mau merusak kesehatanku juga? Begitu tanyaku padanya. Dan dia mulai mendengarkanku untuk ‘manner’ merokok #ciyeeegitu :’)

Dulu, dulu sekali. Aku membenci orang yang merokok. Selain karena baunya yang kurang bersahabat, juga sudah banyak sekali penelitian yang menyatakan merokok itu buruk bagi siapapun. Baik perokok aktif maupun pasif. Malah lebih parah pada perokok yang pasif. Selain itu, aku juga memiliki seorang paman ‘om’ yang memiliki kelainan jantung, ditambah beliau dulu juga merokok. Kemudian ayahku dan seluruh paman dari garis ayah, mereka perokok berat. Entah berapa batang yang akan dihabiskan dalam sehari. Hingga ayahku mengidap penyakit paru-paru, aku tidak begitu paham dengan nama medisnya, yang membuatnya sulit bernafas karena banyaknya flak yang hinggap di paruparu ayah. Aku kerap memarahi mereka. Jangan merokok! Merokok itu nggak sehat! Merokok itu bla..bla..blaaa dan bla.

Dan lagi, merokok dijadikan indikator penilaian sikap pada setiap individu. Entah siapa yang memulai membuat penilaian tersebut.
“Orang yang ngerokok itu cowok yang gag baik. Karena dia nggak sopan”.
Begitulah berita yang beredar di masyarakat. Dan naasnya, kebanyakan dari kita mempercayai itu. Bahkan mungkin sangat meyakini itu. Termasuk aku salah satunya.

Semakin kesini, aku semakin mengubah cara pandangku terhadap merokok. Eh, maksudku perokok. Aku mulai merubah pandanganku terhadap sikap orang yang merokok saat aku bertemu dengan teman MI (SD Islam) dulu. Sebut saja dia Hari.
Hari adalah teman kecilku saat di bangku MI. Dia adalah siswa yang sangat berbakat, tidak diragukan lagi nilai akademiknya. Dibidang apapun sepertinya dia selalu mengerjakan apa saja dengan baik. Sampai pada jenjang SMP dan SMA, prestasi akademiknya yang cemerlang, diperindah lagi dengan prestasi non akademik dan sikapnya yang sangat senang berorganisasi. Hingga dia memasuki salah satu sekolah teknik negeri di Bandung. Saat kami bertemu unrtuk pertama kalinya, dia bertanya kepadaku, “Kamu biasa dengan orang yang merokok nggak?” aku menjawab dengan tegas. TIDAK dan dengan disertai alasan-alasan mengapa aku tidak terbiasa dengan rokok. Kemudian dia izin sebentar keluar dan ternyata dia merokok di halaman parkir. Kemudian kembali duduk denganku dan berbicara seperti biasa. Awalnya aku menganggap kebiasaan dia aneh, hingga suatu hari dia rela meatikan rokoknya karena sedang dduk di salah satu taman Hiburan di Jakarta, karena ada ibu hamil dan seorang anak kecil yang tiba-tiba mengambil duduk di sebelahnya. Aku terkaget melihatnya seperti itu. Baru kali itu aku melihat seseorang yang rela mematikan rokoknya bukan karena dirinya, tapi peduli terhadap kondisi orang disekitarnya.

Setelah itu, aku mulai bertanya kepadanya tentang kebiasaan merokoknya itu. Ternyata dia merokok karena kebiasaan untuk menemaninya begadang malam mengerjakan tugas Kuliah yang terkadang memang tidak manusiawi. Dia merokok agar dia bisa kuat menahan kantuk. Terkadang, saat uang yang dibutuhkan untuk makan belum datang, dia merokok untuk sekedar menghilangkan rasa laparnya. Dan dia sangat tau, resiko seorang yang perokok akan berhadapan dengan masalah kesehatan, juga berhadapan dengan masalah pandangan orang terhadapnya. Lalu kemudian dia tau bagaimana cara merokok agar tidak mengganggu orang disekitarnya

Ya, merokok adalah pilihan. Tidak semua orang setuju dengan pilihan yang kita buat. Tidak semua orang akan setuju dengan apa yang kita lakukan. Konsekuensi yang akan kita hadapi dan resiko yang harus kita terima itulah yang akan menjadi musuh utama saat kita akan mengambil suatu pilihan. Benar saja. Karena tidak semua orang suka dengan asap rokok.  Tapi itu tergantung bagaimana kita memiliki tata-krama saat merokok. Tata krama ada bukan untuk mengekang kita, tetapi untuk menghargai kebebasan orang lain. Untuk belajar lebih peduli terhadap orang lain.

Seperti lelakiku ini, saat dia bertanya kenapa aku tidak suka dengan orang yang merokok? Aku menjawabnya secara medis. Bukan secara pandangan orang tentang merokok. Karena pandangan orang pada seoarang perokok yang sedang beredar saat ini hanyalah pandangan yang subjektif. Tidak didasarkan pada fakta dan data. Dan saat aku sudah menjelaskan kejelekan rokok secara medis, tetapi dia masih memilih untuk merokok (ya, bilangnya sih akan mengurangi, tapi entah dari berapa batang rokok ke berapa batang rokok dalam sehari), Lalu saat dia bertanya akankah aku berpaling darinya jika aku menemukan seorang yang mirip dengannya namun bedanya hanya dia tidak merokok. Aku hanya tersenyum. Bukan karena aku tahu, dia tau maksudku, tapi karena aku tidak tahu akan menjawab apa. Jujur, aku lebih nyaman dengan mereka yang tidak merokok. Aku juga bisa lebih menjamin kesehatan hidupnya (dalam hal ini kesehatan hanya karena dia tidak merokok). Tapi entahlah. Entah aku yang nanti akhirnya akan toleransi terhadap asap rokok yang dia hembuskan atau dia yang akan rela berhenti merokok (dengan tahap) karena dia menyayangkan kesehatanku yang mungkin akan terganggu.

Tetapi tetap, setiap pilihan selalu memiliki konsekuensi dan resiko. Bukan tentang pilihan apa yang akan kita buat. Tetapi tentang bagaimana sikap kita terhadap konsekuensi dan resiko yang kita ambil :’))

Salam,
Putri Ilmi yang belajar

Belajar untuk mencintai lelakinya :’D

[SKINCARE REVIEW] Skincare Clarice Clinic to the Rescue

Hai semuuaaaa   Assalamualaikum   Eh kebalik ya, harusnya salam dlu   Assalamualaikum   Hai semuaaaa   Gini harusnya S...